Kamis, 23 April 2015

Menampar Bulan

Dia tak hentinya menengok ke langit, sesekali dia tunduk dan menuai kecewa.
Namanya Qadriah. Dan, teman-temannya memanggil Ria. Gadis belia yang tidak pernah bosan bersama malam meskipun hujan turun dengan derasnya. Dia setia pada apa yang bersangkut paut tentang malam, terutama soal dingin. Namun, dia lebih setia kepada Yus, kekasihnya yang telah meninggalkan dirinya sekian lama. Entah berapa lama lagi, dia harus menghitung perpisahan yang seakan berlanjut untuk selamanya.


“Dinda, besok aku mau merantau ke negeri tetangga,” kata Yus kepadanya sebelum perpisahan itu terjadi. Sambil membelai rambutnya yang lurus, kekasihnya nampak tersenyum mencoba memberinya isyarat bahwa perpisahan harus dilalui dengan kuluman, meski berat.

“Itu berarti, kakak akan menanam benih rindu, dan sebentar lagi akan tumbuh lebat. Tapi, berapa lama kakak pergi lalu akan datang memetik benih itu? Aku takut, buahnya lebat dan tidak mapu lagi kubawa kemana-mana,” kalimatnya mengandung pernyataan, pertanyaan, kegelisahan sekaligus tantangan dikemas dengan senyum tulus.

“Entah, berapa lama dinda. Namun, aku pastikan benih yang kutanam adalah bibit terbaik dan aku pasti akan dating memetiknya sebelum membusuk,” timpal Yus sembari membalas senyum lalu mencium kening kekasihnya.
“Tapi bila suatu hari nanti engkau rindu padaku. Maka tataplah rembulan, maka engkau akan melihatku terbayang-bayang. Dan, bila suatu saat engkau ingin mengetahui keadaanku di tanah orang lain. Tanyakan pulalah pada rembulan itu,” sambung Yus, sambil menunjuk ke langit.

Sejak itulah, setelah kepergian tanpa tahu pangkal pulangnya. Setelah perpisahan tanpa tahu pangkal temunya. Ria setia menemani malam hingga fajar menjelang.

***

Meskipun kesetiaannya pada malam, sebagaimana kesetiaannya pada Yus tidak menghasilkan apa-apa. Tiada hentinya dia menengok ke langit, sesekali dia tunduk dan menuai kecewa menyaksikan tingkah rembulan yang diam seribu bahasa, sementara dirinya dipenuhi beribu pengharapan akan kabar sang kekasih.
Beribu kali dia lontarkan pertanyaan tentang kabar kekasihnya kepada rembulan. Beribu kali pula rembulan membisu. Bahkan saat pertanyaan terlontar dari celah bibirnya, rembulan sepertinya beranjak dan bersembunyi ke balik awan, rembulan seakan tidak sanggup menerima beban pertanyaan yang tidak mempunyai pangkal jawab.

Seperti malam biasanya, tiada hentinya dia menengok ke langit, sesekali dia tunduk dan menuai kecewa. Setia bersama malam dan bersahabat dengan dingin. Dia terus memandang rembulan tanpa ada rasa putus asa yang bersemayam di dalam dirinya. Mata nanarnya yang berkaca-kaca, hampir pecah tidak dia pedulikan.
Tatapannya, tanpa batas dalam menunggu wajah dan kabar kekasihnya. Bila malam semakin larut, dia semakin setia bersama malam, sebagaimana setianya kepada Yus, yang juga menjadi semakin.

Saat fajar datang, dia akan sambut dengan gelisah dan tertunduk menuai kecewa. Saat sore menjelang, bibir manisnya terkulum untuk matahari senja. Dan, bila malam tiba, dia akan tetap setia menunggu hingga fajar kembali menjelang bersama gelisahnya yang bangkit. Begitu seterusnya. 

Siang, Ria menyulam nama kekasihnya pada tiap kain yang ada, serta mengukir namanya pada tiap dinding kamarnya. Dia dipenuhi harapan, kelak kekasihnya datang dan membaca namanya di setiap sisi sebagai bukti rindunya. Sungguh, dia tidak pernah berhenti berharap. Rindunya telah mendarah dan mendaging.
Suatu malam, malam yang tidak seperti malam lalu-lalu. Namun, dia masih tetap yakin dapat melihat wajah kekasihnya. Dia hendak bertanya untuk kesekian kalinya tentang kabar sang kekasih. Akan tetapi, terkadang harapan meninggalkan kenyataan tanpa pamit, rembulan tidak muncul malam itu.

Malam berikutnya, dia begitu berharap dapat melihat dan mendapatkan kabar tentang kekasihnya. Bukan hanya itu, dia telah menyiapkan kado ulang tahun untuk kekasihnya; sebuah sulaman berukir Yusrisal, sulaman buatannya sendiri. Kado itu hendak diperlihatkan kepada rembulan, berharap dapat mengirimkan gambaran kado itu kepada kekasihnya. Lagi-lagi, rembulan tidak memunculkan batang hidungnya, rembulan bersembunyi di balik awan. Takut menerima amanah yang cukup berat.

***

Sudah empat puluh satu purnama dia menunggu wajah beserta kabar tentang kekasihnya dari rembulan. Namun, tidak ada yang berhasil. Meski demikian, dia masih berkeyakinan, jikalau rembulan pasti akan mengirimkan wajah dan kabar kekasihnya suatu saat. Entah kapan.

Dalam kerinduannya, kondisinya semakin memburuk. Kejiwaannya terganggu, kerap dia mengigau ataupun bercerita seorang diri tentang kekasihnya. Katanya, kekasihnya akan kembali bersama sekotak coklat dari negeri tetangga, lalu dia akan memakannya bersama di bawah sinaran rembulan. Katanya pula, kekasihnya punya wajah bulat, kumis tipis, rambut lurus dan bercahaya, wajah itu akan muncul menyaingi cahaya bulan. 

Di malam berikutnya, Di bangku bawah pohon, tempat setianya menunggu wajah dan kabar kekasihnya. Tekanan jiwa telah darurat, membuat begitu lelah hingga lelap. Dia tidak lagi bersahabat dengan malam dan setia bersama dingin.

***

Ria mengumpulkan bambu dari desa yang terdekat dari kampungnya. Pohon-pohon bambu ditebanginya hingga tiada sisa. Penduduk cuma diam melihat ulah dan tingkahnya. Mereka telah paham kesedihan gadis itu.

Dirangkainya semua bambu yang telah ditebangnya selama berminggu-minggu menjadi tangga yang menjulang tinggi menembus awan dan sampai di kediaman rembulan. Semua hal tersebut dilakukan dengan sendirinya tanpa letih, sebab letihnya telah dihabiskan untuk setia.

Tangga yang dibuatnya telah selesai. Saatnya menapaki anak-anak tangga tersebut satu persatu, dan membawanya semakin tinggi. Tidak peduli seberapa jauh dia meninggalkan bumi. Di benaknya, melewati ribuan anak tangga sampai di kediaman rembulan sebelum fajar atau semuanya sia-sia.

Malam itu, purnama terang benderang. dia mempercepat gerakannya. Beban tubuhnya terasa berkurang, grativikasi bumi telah meninggalkannya ataukah sebaliknya. Bulan sudah semakin dekat, sinaran purnama sungguh terang dan menyilaukan matanya. Dipilihnya untuk beristrahat sejenak, melepaskan segala lelah.
Tiba-tiba, raut wajahnya berubah geram. Dilihatnya kekasihnya di bumi sementara berduaan dengan gadis lain. Dia kecewa dan berteriak sekuat-kuatnya. Pilu. Rembulan bersembunyi di balik awan.

Dia kembali menapaki anak-anak tangga yang tersisa, dia memburu rembulan. Dia tidak mau menengok lagi ke belakang. Tidak mau mengulang lagi sesak di dada. Akan ditanyakan perihal tersebut kepada rembulan; mengapa rembulan enggan jujur dengan keadaan yang sebenarnya? Kepadanya.

Saat dia bertanya perihal tersebut, rembulan diam. Marahnya pun memuncak, amarahnya tak terbendung. Dia menampar rembulan hingga kesakitan tiada kira. Rembulan menangis dengan keras menjelma hujan dan Guntur.

Dia yang tertidur pulas di bangku bawah pohon, tempatnya setia menemani malam, dibangunkan oleh hujan yang deras dan suara Guntur yang menyayat rasa. Mimpinya berhamburan.